
LAPORAN: Implementasi Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) Tahun 2024
Publication Date: July 21, 2025
Total Pages: 128
Organization: Ministry of Women Empowerment and Child Protection
Languages: Indonesian
Country/Region: Indonesia
Topic Area: Gender Mainstreaming, Gender equality and women’s empowerment, Peace and security, Sustainable Development Goals (SDGs), Conflict prevention, Governance, National planning, Civil Society, Radicalization, Localization, Disaster Risk Reduction, Violent extremism and terrorism, Economic empowerment, Leadership and political participation
Year: 2025
Resource Type: Reports
Abstract
Laporan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) tahun 2024 ini disusun sebagai bentuk akuntabilitas atas implementasi Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014. Implementasi RAN P3AKS sebagai wujud komitmen nasional terhadap agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace and Security/WPS) yang ditetapkan dalam Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1325. RAN P3AKS merupakan kerangka nasional dalam melindungi dan memberdayakan perempuan dan anak dalam situasi konflik sosial. Penyusunan laporan ini berfokus pada kajian pelaksanaan dan capaian RAN P3AKS sepanjang tahun 2024, dengan menggunakan metode desk review dan konsultasi publik yang melibatkan 322 peserta (77 laki-laki dan 245 perempuan) dari unsur kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, kelompok perempuan, kelompok muda, serta kelompok disabilitas. Konsultasi publik dilakukan di empat daerah yaitu Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Tengah, dan Papua, untuk menggambarkan keberagaman konteks dan dinamika pelaksanaan RAN P3AKS di tingkat lokal.
Berbagai inisiatif terkait upaya pencegahan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil, antara lain mendorong adopsi dalam kebijakan dan kelembagaan P3AKS. Upaya tersebut antara lain mencakup advokasi dan integrasi prinsip-prinsip P3AKS ke dalam kebijakan dan kelembagaan di tingkat daerah. Hingga tahun 2024, sebanyak 13 provinsi telah mengadopsi Rencana Aksi Daerah (RAD) P3AKS sebagai bentuk komitmen daerah dalam mendukung RAN. Di tingkat komunitas,
pelatihan yang ditujukan bagi anak dan remaja, kelompok adat, serta tokoh agama telah memperkuat kapasitas masyarakat dalam mencegah konflik, termasuk melalui penguatan peran dan kepemimpinan perempuan dalam sistem deteksi dini konflik sosial.
Dalam bidang penanganan P3AKS telah mendapatkan penguatan landasan kebijakan, salah satunya dengan disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. UU ini mendorong peningkatan akses layanan perlindungan bagi korban. Hingga 2024, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) telah terbentuk di 34 dari 38 provinsi dan di 332 kabupaten/kota. Selain itu, inisiatif untuk memajukan desa dan komunitas damai menjadi bagian dari strategi pemberdayaan dengan mengintegrasikan perlindungan serta pemenuhan kebutuhan dasar dan spesifik perempuan dan anak dalam situasi konflik sosial.
Pada bidang pemberdayaan dan partisipasi, pemberdayaan ekonomi pasca konflik, serta inisiatif reintegrasi sosial bagi perempuan terpapar terorisme menjadi fokus bersama pelibatan forum anak dan keterlibatan keluarga dalam program deradikalisasi. Hal ini telah menghasilkan perubahan pada tingkat individu, keluarga dan komunitas. Edukasi terkait kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja serta peran keluarga dalam perlindungan perempuan dan anak dikembangkan bersama dialog dan kerjasama untuk penguatan perlindungan.
Terkait indikator lintas bidang, telah didorong berbagai upaya untuk memajukan kepemimpinan perempuan baik formal maupun non formal di berbagai level. Keberadaan UU TPKS menjadi pondasi penguatan akses korban, walaupun ketersediaan infrastruktur pendukung bervariasi, dan kurang dari 1% korban yang melaporkan kasus kekerasan yang dialami. Upaya sinergi data kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah dilakukan, namun masih terkendala (seperti data tidak terperbaharui, belum tersedianya data kekerasan pada konteks konflik sosial, dan data pilah berbagai sektor yang belum memadai). Kolaborasi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil menjadi faktor penting pelaksanaan RAN dan adopsinya di daerah, walaupun kolaborasi pentahelix perlu diperkuat. Evaluasi juga menemukan capaian di luar yang ditargetkan, terutama harmonisasi dengan kebijakan lain (khususnya RAD Penanggulangan Konflik Sosial) dan terdatanya sejumlah produk pengetahuan (modul belajar, pedoman/ panduan maupun laporan dan hasil kajian) yang diterbitkan berbagai pihak.
Di daerah, pelaksanaan rencana aksi menunjukkan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang kuat. Pengalaman Aceh dan Sulteng menunjukkan kesadaran dan pembelajaran dari konflik di masa lalu memperkuat kesadaran multi pihak akan pentingnya rencana aksi ini, sementara di DI Yogyakarta, terbangun kesadaran akan risiko konflik sosial yang perlu diantispasi. Papua memiliki kompleksitas isu konflik dan tata kelola sebagai daerah otonomi baru, sehingga rencana aksi belum diadopsi walaupun praktik baik perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak telah dikembangkan.
Pelaksanaan rencana aksi juga menemui tantangan terkait keterbatasan cakupan konflik sosial menurut regulasi yang ada, sementara dimensi keamanan manusia yang lebih luas (seperti bencana dan perubahan iklim, radikalisme kekerasan, konteks digital, maupun isu migrasi) berdampak pada perempuan dan anak. Adopsi rencana aksi di daerah juga relatif berjalan di tempat dan belum semua kebijakan yang progresif bisa efektif di lapangan. Pada sisi sumber daya, implementasi rencana aksi dihadapkan pada tantangan pendanaan, data yang perlu diperkuat dan tantangan kapasitas SDM dan sistem monev yang belum efektif, serta norma sosial konservatif dan lemahnya koordinasi.
Rekomendasi ke depan adalah: (i) Perluasan cakupan isu konflik sosial sosial untuk mengakomodasi isu keamanan manusia dan sejalan dengan prioritas kebijakan (seperti Astacita dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan); (ii) Penguatan data dan sistem informasi berbasis digital; (iii) Sinergi dan harmonisasi antara P3AKS dan PKS di daerah; (iv) Penguatan kepemimpinan perempuan (edukasi gender, dukungan bagi perempuan pembela HAM, dukungan pendanaan); (v) Penguatan harmonisasi dengan rencana aksi lainnya (RAN PE, RAN HAM); (vi) Integrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat pusat dan daerah; (vii) Perluasan perubahan dengan scaling-up dari model yang sudah berhasil di tingkat komunitas dan desa ke tingkat daerah dan nasional; (viii) Penguatan kolaborasi pentahelix termasuk pelibatan dunia usaha dan akademisi yang perlu diperkuat; (ix) Pendekatan interseksionalitas gender untuk menjawab berbagai problem kesenjangan dan memperkuat efektivitas perlindungan; (x) Pengarusutamaan hak anak, penguatan kapasitas dan pengembangan system perlindungan anak dengan menggunakan pendekatan anak sebagai pelapor dan pelopor berbasis komunitas dengan dukungan penuh lembaga negara.